Kamis, 21 Juli 2016

PATATAS DAN CAMPADA

Pada suatu ketiak, terjadilah kisah yang berbau harum diantara megahnya alam ini. Semuanya dimulai saat mata perlahan terbuka, mulut menguap asap, dituang kantuk seperlima pecahan desimal. Masih pagi sekali sebelum munculnya si tuan siang, telepon genggam tipis saya berteriak keras di telinga. Kring-kring-kring. “Perkara apakah ini sehingga harus mengagetkan kakanda si bungsu yang masih ingin berenang di alam mimpi?. Huuu… ini bukan alarm bangun pagi, bukan alarm latihan memanah cicak, namun nada panggilan masuk. Siapakah yang menelepon? Semoga bukan Uttaran. Semoga bukan Elif. Semoga bukan anak Jalanan.
   Alamak, Si Campada goreng menelepon. Mengapa tiba-tiba menelepon? Mau menagih utang? Ataukah menebang hutan?

Terjadi percakapan singkat :
Feliks : “Selamat pagi Nona Campada”...
Campada  : “Ia Nyong Patatas… selamat pagi… sudah bangun?”
Feliks  : “Belum, masih tidur…”
Campada : “Ouh ya? Sambil tidur, saya ingin mengatakan sesuatu…”
Feliks  : “Ia, silahkan…”
Campada : “saya-kan Wanita”
Feliks : “Ia saya tahu…”
Campada : “nah itu saja yang saya ingin katakan”
Feliks : “jangan bercanda”
Campada : “ini mah bercanda atuh akang”
Feliks : “Ada apa denganmu, sehingga menelepon jam begini?”
Campada :  “Pagi ini saya terburu-buru ke kantor, sehingga saya lupa untuk sarapan.
      Bisakah membawa seember Campada”
Feliks :” Bukankah musim campada sudah berakhir? “
Campada : “saya lupa. inikan musim salju. Kalau begitu salju saja”
Feliks : “Pakai sambal/sambalado?”
Campada : “Sambalado, di campur gado-gado juga”
Feliks  “Setelah selesai tidur, nanti saya antarkan.
Campada :”Terima kasih sebelumnya”
Feliks : “Terima kasih untuk apa?”
Camada : “Terima kasih sudah mau membantu saya”
Feliks : “Saya bilang kan nanti, … itupun kalau saya ingat…”
Campada : “Selain lapar, saya sangat merindukan kamu. Jadi, tolonglah saya”
Feliks : “Karena saya orang yang suka menolong, maka dengan senang hati saya akan 
       melakukannya. Berhentilah merayu di telpon. Eksekusikan rayuanmu di depan
       mata saya nanti”
Campada : “Terima kasih banyak, terima kasih. Saya bahagia ada yang mau peduli dengan
     saya”
Feliks : “ini hanya Simpati”
Campada : “saya kira As”
Feliks : “kalau sudah di depan kantor saya akan menelepon”
Campada : “Baiklah. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih”
Feliks : “Selamat Natal”
Campada : “Selamat tahun baru”

  Sebelum cerita ini dilanjutkan, saya ingin mengenalkan pembaca dengan Campada. Campada adalah sebuah tanaman yang berkarib akrab dengan Nangka. Mereka satu keluarga tapi beda spesies. Ada Nangka Belanda, tetapi tidak ada Campada Belanda. Ada Campada Goreng, tetapi tidak ada Nangka Goreng. Apapun makanannya, minumnya The botol Sosro. Saya lupa dimana awalnya saya mengenal Campada. Saya hanya ingat baunya setelah digoreng di atas perapian yang menyala-nyala. Campada membuat saya aman didalam badai. Apakah Campada Dewa? Bukan. Sama sekali bukan. Pernah disaat hujan lebat, saya terpaksa berteduh dibawahnya. Sebenarnya itu terjadi karena saya tidak membawa mantel hujan saja. Dan begitulah kira-kira cerita bohongnya.
  Sebenarnya berada di sisi Campada mengajarkan saya, apa artinya kekonyolan, keketewaan, Cinta.a.a.a.(Dia parlente tu, jang percaya)
  Mari kita lanjutkan cerita konyol ini…
  Pagi itu juga saya langsung bergegas, dan mulai merapikan diri. Menyetrika kulit yang mulai kusut. Menjahit kenop yang terluntang-lanting. Mencolek pomade, dan menyisir rambut belah sungkawa. “Zainuddin, kamu tampan sekali”, kata mamak dari dapur. “kalau saya tidak tampan, lantas mengapa saya sudah berbini sepuluh?” (Semakin mengada-ngada saja ceritanya Feliks…)

Semua persiapan sudalah beres, namun tetaplah ada yang kurang. Hatiku jadi sunyi senyap. Bagaimana kehidupan saya kelak dengan dia jika hari ini dia menolak perihal yang ingin saya sampaikan. Berdoa. Berdoa adalah kuncinya. Panjatkan. Panjatakan dengan tulus. Tuhan  akan mendengar doa orang percaya. Walaupun kiamat sudah dekat. Walaupun cinta tidak memberi uang pensiun.
Helahan nafas panjang saya hantamkan, sebelum kaki melangkah keluar dari rumah tua. Seikat daun sawi sudah  diambil dari dalam kulkas untuk dipasangkan ditelinga nona kebaya. Sebelum merantau ke mesir. Sebelum berpangkat. Sebelum jadi orang. Marilah menjupa dan mengatakan perasaan. Apakah perahu akan terkandas, ataukah perahu akan dinaiki burung nuri, tetaplah maju untuk mencinta. karena mencinta tak harus lemah. Mencinta harus sekuat tembok Berlin, walau pada akhirnya roboh dan bersatu kembali.

Setelah tiba digudang penyimpan kuda kesayangan, dengan nomor plat DE 2557 LJ. Saya pun memanaskannya lebih dulu. Karena jika kuda kepanasan, larinya semakin kencang ;seperti genderang mau perang.

  Tangan kanan memainkan gas, sambil melepas rem. Tangan kiri tetap tenang namun harus waspada. Kedua kaki diistirahatkan dibagian pelana. Ayo melaju, tanpa harus buru-buru. Ingat pengendara harus jaga jarak aman. Tak boleh melaju kencang. Tak boleh mengantuk. Tak boleh melotot. Apalagi mabuk.
Jadi bagaimanakah kisah selanjutnya?
A. Apakah Feliks mengutarkan isi ulu hatinya?
B. Ataukah memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa?

Hari Selanjutnya

 Pada hela nafasmu, namamu berdesis pelan, Ucy, di ruang sanubari terpatri teguh dan kelan. Senyummu mentari pagi, hangatkan jiwa yang beku,...